Materi Seni Budaya Kelas VIII Smt I Bab I. Apresiasi Karya Seni Rupa Nusantara
Sejarah Seni Rupa Indonesia dari Zaman Prasejarah, Hindu-Budha, dan Islam
Seni rupa Indonesia memang belum bisa dikatakan memiliki
jati dirinya sendiri.Jika mau mengilas balik seni rupa nusantara, Perjalanan
Seni Rupa Indonesia mengungkap fakta dari semula, nusantara memang tak memiliki
seni rupanya yang otentik. Kebudayaan nusantara dipercaya tercipta lewat
migrasi Yunnan dan bangsa Austronesia, sekitar 4000 tahun yang lalu. Saat itu
seni pertama kali lahir, sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Seni
menjadi semacam barang yang bermanfaat dijual atau digunakan dalam ritual
keagamaan. Seni hasil para migran ini kemudian yang menjadi dasar kebudayaan di
Indonesia. Penemuan arkeologi guci perunggu bermotif ganda; membuktikan
pengaruhnya pada seni rupa motif parang rusak batik Jawa sekaligus motif tameng
Papua.
Gelombang migrasi yang sama terus berulang secara berjangka. Seiring itu pula kebudayaan nusantara terus berkembang. Mulai dari migrasi Dong Son pada 500 SM yang mengenalkan kebudayaan perunggu, hingga masuknya Islam, yang menciptakan sosok punakawan di wayang Jawa.
Campur aduk gado-gado pengaruh aneka kebudayaan ini menghasilkan sosok seni rupa yang menyesatkan di Indonesia. Indonesia memiliki seni yang paling primitif sekaligus berdampingan dengan seni yang paling kontemporer. Saat seniman ”kubu” Bandung dan Yogyakarta telah mengenal pop art ala Andi Warhol, seniman Asmat masih setia menggunakan tiga warna alam dalam karyanya.
Renesans bertopik lokal
Seni rupa modern Indonesia sendiri bergerak campur aduk. Kusnadi dalam Seni Rupa Modern menyatakan, seniman-seniman Indonesia dibentuk melalui orientasi Timur sekaligus Barat, tanpa mengenal adanya batasan-batasan geografis, wilayah, bangsa bahkan zaman. Sejak dirintis oleh Raden Saleh, seni rupa modern Indonesia berjalan tanpa ”sengaja”. Sekaligus juga tanpa arah yang jelas. Raden Saleh menerapkan gaya melukis ala renesans, namun dengan topik-topik lokal. Hasilnya muncul dalam karya Harimau Minum, Bupati Majalengka atau Penangkapan Pangeran Diponegoro. Sejak awal idealisme seni rupa modern Indonesia belum terbentuk, dan sama seperti kondisi politik saat itu; terjajah seni rupa klasik Barat. Uniknya, seni klasik Barat saat itu menjadi landasan seni modern Indonesia. Carut marut semakin kencang, mengingat di saat bersamaan seni lukis Bali tetap berkembang dengan dunianya sendiri.
Masalah menjadi lebih kompleks sejak seni rupa Indonesia sendiri sebenarnya terbagi-bagi sesuai gejolak politik saat itu. Kusnadi dalam periode Revolusi Fisik Kemerdekaan mengelompokkan Affandi, Hendra, Sudarso, Trubus, Dullah dan kawan-kawan sebagai seniman pada era sebelum kemerdekaan. Karya mereka berbeda jauh dengan karya-karya seniman era 80-an, era 2000-an atau bahkan kembali pada karya seniman masa Hindia Belanda. Seni rupa Indonesia bukan hanya terbagi atas aliran-aliran ala Barat, namun juga terbagi atas periode-periode politik nusantara.
Ruwetnya identitas seni rupa Indonesia ini terus berlanjut bahkan di masa kontemporer. Seni rupa Indonesia menginduk ke Barat, tanpa melewati tahapan yang sama. Sebuah dunia seni rupa yang masih mencari identitas diri, bagaikan seorang remaja yang baru menginjak pubertas, mengekor identitas seni Barat yang telah rampung.
Salah satu bentuk rancu terjadi dalam pengertian surealisme di seni rupa Indonesia. Kurator Jim Supangkat sempat mengeluh, saat berhadapan dengan karya-karya mistis Indonesia. Surealisme nusantara masih mengawal soal kekuatan gaib atau mahluk-mahluk-mahluk mitologi yang bercampur pemahaman pribadi. Berbeda dengan surealisme Barat yang murni bermain dengan alam pikiran manusia.
Barat memiliki kerangkanya sendiri setelah melalui perjalanan yang panjang. Aliran Cobra misalnya, tak sembarang hadir dengan ide corat-coret di atas kanvas. Genre ini muncul sebagai bentuk frustasi para seniman Copenhagen, Brussel dan Ãmsterdam pasca ekpresionisme.
Gelombang migrasi yang sama terus berulang secara berjangka. Seiring itu pula kebudayaan nusantara terus berkembang. Mulai dari migrasi Dong Son pada 500 SM yang mengenalkan kebudayaan perunggu, hingga masuknya Islam, yang menciptakan sosok punakawan di wayang Jawa.
Campur aduk gado-gado pengaruh aneka kebudayaan ini menghasilkan sosok seni rupa yang menyesatkan di Indonesia. Indonesia memiliki seni yang paling primitif sekaligus berdampingan dengan seni yang paling kontemporer. Saat seniman ”kubu” Bandung dan Yogyakarta telah mengenal pop art ala Andi Warhol, seniman Asmat masih setia menggunakan tiga warna alam dalam karyanya.
Renesans bertopik lokal
Seni rupa modern Indonesia sendiri bergerak campur aduk. Kusnadi dalam Seni Rupa Modern menyatakan, seniman-seniman Indonesia dibentuk melalui orientasi Timur sekaligus Barat, tanpa mengenal adanya batasan-batasan geografis, wilayah, bangsa bahkan zaman. Sejak dirintis oleh Raden Saleh, seni rupa modern Indonesia berjalan tanpa ”sengaja”. Sekaligus juga tanpa arah yang jelas. Raden Saleh menerapkan gaya melukis ala renesans, namun dengan topik-topik lokal. Hasilnya muncul dalam karya Harimau Minum, Bupati Majalengka atau Penangkapan Pangeran Diponegoro. Sejak awal idealisme seni rupa modern Indonesia belum terbentuk, dan sama seperti kondisi politik saat itu; terjajah seni rupa klasik Barat. Uniknya, seni klasik Barat saat itu menjadi landasan seni modern Indonesia. Carut marut semakin kencang, mengingat di saat bersamaan seni lukis Bali tetap berkembang dengan dunianya sendiri.
Masalah menjadi lebih kompleks sejak seni rupa Indonesia sendiri sebenarnya terbagi-bagi sesuai gejolak politik saat itu. Kusnadi dalam periode Revolusi Fisik Kemerdekaan mengelompokkan Affandi, Hendra, Sudarso, Trubus, Dullah dan kawan-kawan sebagai seniman pada era sebelum kemerdekaan. Karya mereka berbeda jauh dengan karya-karya seniman era 80-an, era 2000-an atau bahkan kembali pada karya seniman masa Hindia Belanda. Seni rupa Indonesia bukan hanya terbagi atas aliran-aliran ala Barat, namun juga terbagi atas periode-periode politik nusantara.
Ruwetnya identitas seni rupa Indonesia ini terus berlanjut bahkan di masa kontemporer. Seni rupa Indonesia menginduk ke Barat, tanpa melewati tahapan yang sama. Sebuah dunia seni rupa yang masih mencari identitas diri, bagaikan seorang remaja yang baru menginjak pubertas, mengekor identitas seni Barat yang telah rampung.
Salah satu bentuk rancu terjadi dalam pengertian surealisme di seni rupa Indonesia. Kurator Jim Supangkat sempat mengeluh, saat berhadapan dengan karya-karya mistis Indonesia. Surealisme nusantara masih mengawal soal kekuatan gaib atau mahluk-mahluk-mahluk mitologi yang bercampur pemahaman pribadi. Berbeda dengan surealisme Barat yang murni bermain dengan alam pikiran manusia.
Barat memiliki kerangkanya sendiri setelah melalui perjalanan yang panjang. Aliran Cobra misalnya, tak sembarang hadir dengan ide corat-coret di atas kanvas. Genre ini muncul sebagai bentuk frustasi para seniman Copenhagen, Brussel dan Ãmsterdam pasca ekpresionisme.
Seni kria dapat disebut dengan seni
kerajinan yang merupakan bentuk seni rupa terapan. Seni kria merupakan bagian
dari seni rupa yang bertujuan untuk memenuhi kepuasan fisik (seni pakai) dan
psikologis (seni hias/keindahan rasa). Seni kria dikerjakan dengan keterampilan
atau kecekatan tangan. Pada umumnya seni kria dibuat cendrung sebagai barang
produksi atau seni industri.
Seseorang pengamat atau pecinta seni
dapat menghargai dan menikmati karya seni kria apabila ia mengerti , memahami
dan menilai karya seni melalui kepekaan rasa estetis dan nilai guna. Kemampuan
dalam kegiatan tersebut dinamakan dengan Apresiasi seni. Kemampuan dalam
memahami dan menilai karya seni terapan disebut kemampuan mengapresiasi seni
terapan. Apresiasi sangat penting bagi setiap orang yang mau mengerti terhadap
karya seni karena dapat melatih kepekaan rasa, memberi kenikmatan, dan
memperkaya jiwa serta memperhalus budi pekerti.
I. Menilai Karya Seni Rupa Terapan
(Seni Kria)
Menilai suatu karya seni kria, kita
harus memahami proses apresiasi seni rupa secara utuh. Proses tersebut adalah
pengamatan, penghayatan terhadap karya, dan pengalaman berkarya seni sehingga
dapat menumbuhkan rasa kagum, sikap empati, dan simpati yang akhirnya mempunyai
kemampuan menikmati, menilai, dan manghargai karya seni.
1.
Setiap karya seni rupa mempunyai nilai seni yang berbeda satu sama yang
lainnya. Nilai suatu karya sangat ditentukan oleh kemampuan perupa karya seni
itu sendiri yang meliputi:
a.
konsepsi atau gagasan;
b.
kreativitas dalam penciptaan karya;
c.
teknik pengerjaan yang menghasilkan corak tersendiri, namun tetap
memperhitungkan sifat-sifat media/bahan;
d.
keunikan dalam pengaturan komposisi dan bentuk sehingga menghasilkan karya yang
tampak unik (beda dengan yang lain).
Kualitas suatu karya selain
tergantung dari perupanya juga ditentukan oleh kualitas dan sifat dari
media/bahan yang digunakan. Misalnya sebuah topeng yang dikerjakan dengan bahan
kayu pule akan jauh lebih berkualitas dibandingkan dengan menggunakan kayu
meranti.
2.
Kriteria Menilai Karya Seni Rupa Terapan (Seni Kria)
Suatu karya seni yang tergolong ke
dalam seni rupa tentu dalam pengerjaannya memperhitungkan kaidah-kaidah seni
rupa, maka dalam menilai atau memilih suatu karya seni rupa yang baik dan
berkualitas diperlukan apresiasi seni rupa.
Hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam berkarya seni rupa dan apresiasinya adalah sebagai berikut:
a.
prinsip seni;
b.
fungsi seni;
c.
komposisi atau unsur seni
Prinsip seni atau asas seni meliputi
dua hal, yaitu:
1) Komposisi (susunan)
Apa pun jenis karya seni rupa yang
dikerjakan, tidak akan terlepas dari komposisi. Komposisi itu sendiri adalah
susunan. Hasil karya itu akan baik dan indah apabila pengaturan atau penyusunan
unsur-unsur seni rupa dalam satu kesatuan. Unsur-unsur pokok dalam seni rupa
adalah titik, garis, bidang, arah, bentuk, ukuran, warna, gelap-terang, dan
tekstur. Seseorang yang menyusun unsur tersebut berarti ia menciptakan bentuk
atau desain. Komposisi dapat dihasilkan dengan memperhatikan
prinsip-prinsip pengaturan atau penyusunan. Prinsip-prinsip tersebut antara
lain:
a)
keseimbangan (balance);
b)
kesatuan (unity);
c)
irama (ritme);
d)
kontras (berbeda jauh)
e)
serasi (harmony)
2)
Unsur-unsur seni rupa
a)
Garis merupakan unsur yang dapat memberi batasan atau kesan suatu
bentuk, seperti kesan garis tipis beda dengan garis tebal.
b)
Arah merupakan susunan suatu garis atau bentuk menuju kerah tertentu
sehingga akan dapat memberi kesan stabil atau dinamis, seperti arah
berbelok-belok berkesan dinamis dan arah horizontal berkesan stabil.
c)
Bidang, ruang (bentuk) juga merupakan kesan batasan suatu bentuk,
seperti lingkaran, segitiga, benjolan, dll.
d)
Ukuran merupakan kesan perbandingan suatu bentuk, seperti
panjang-pendek, besar-kecil, luas-sempit, dll.
e)
Gelap terang merupakan efek cahaya yang nampak pada bentuk yang dapat
dicapai dengan warna gelap dan warna terang.
f)
Warna merupakan unsur yang dapat memberi kesan secara menyeluruh pada
suatu bentuk.
Warna dapat dikelompokkan menjadi
tiga jenis, yaitu:
(1) warna
primer (pokok) : merah, kuning dan biru;
(2) warna
sekunder (campuran dua warna primer) :
-
orange ( merah dan kuning )
-
ungu ( merah dan biru)
-
hijau ( kuning dan biru)
(3) warna
tersier (campuran warna primer dan sekunder) : hijau muda, hijau tua,
ungu muda, ungu tua, orange muda, orange tua.
Warna komplimenter adalah
warna-warna yang berlawanan atau berhadapan dalam susunan warna.
Penggunaan warna dapat dikelompokan
menjadi tiga, yaitu:
a.
Warna Harmonis, warna diterapkan secara naturalis seperti warna
yang nampak di alam, misalnya daun berwarna hijau, langit berwarna biru, bunga
berwarna merah, dsb.
b.
Warna Heraldis, warna yang digunakan dalam pembuatan symbol atau
lambing, misalnya merah berarti berani, putih berarti suci, biru berarti damai,
hijau berarti sejuk, kuning berarti jaya, ungu berarti berkabung, dll.
c.
Warna Murni, penggunaan warna secara bebas tidak terikat oleh
alam atau makna tertentu, misalnya pada karya-karya seni modern.
g)
Tekstur, merupakan nilai raba dari suatu permukaan (kasar halusnya
permukaan benda). Tekstur ada dua, yaitu tekstur nyata dan tekstur semu.
h)
Titik, merupakan unsur yang dapat digunakan untuk memunculkan kesan
suatu bentuk, seperti membuat gambar ilustrasi atau lukisan pointilisme.
Fungsi Seni
Setiap karya seni rupa mempunyai
fungsi tertentu, yaitu:
1)
Fungsi primer atau fungsi pribadi, yaitu fungsi untuk kepuasan
pribadi bagi perupanya;
2)
Fungsi Sekunder atau fungsi social, yaitu fungsi untuk kepuasan
bagi orang lain yang menikmatinya atau sebagai media komunikasi;
3)
Fungsi fisik atau pakai, yaitu untuk memenuhi kebutuhan fisik.
II. MENGAGUMI KARYA SENI RUPA TERAPAN (SENI KRIA) NUSANTARA
Wilayah Nusantara yang terdiri dari
bermacam-macam suku bangsa, adat-istiadat, dan seni budaya daerah yang berbeda
merupakan kekayaan budaya dan kebanggaan bangsa. Berbagai daerah suku di
Indonesia banyak menghasilkan karya seni kria yang masing-masing memiliki
keunikan dan ciri khas tersendiri. Seni kria di daerah pada umumnya
pengerjaannya bersifat tradisional sehingga tidak banyak yang terkenal, lain
halnya dengan perupa lukisan dan patung banyak yang terkenal.
Nilai artistik seni kria daerah
Nusantara terletak pada motif hias atau ragam hias, teknik pengerjaan yang
rumit dan unik, dan bentuk serta keindahannya yang mengagumkan.
1. Penciptaan Seni Kria
Seni kria yang diciptakan agar dapat
memenuhi kepuasan pencipta dan pemakai atau penikmatnya, harus memperhatikan
faktor-faktor sebagai berikut:
a.
Faktor estetis (nilai keindahan yang terkandung dalam karya seni tersebut),
nilai ini dapat dicapai dengan memperhatikan prinsip-prinsip seni rupa dan
dengan keterampilan atau kecakapan tangan;
b.
Faktor artistik, nilai yang ditimbulkan oleh keindahan fisik/bentuk dan fungsi
dari karya seni tersebut;
c.
Faktor kegunaan, kegunaan dari karya seni tersebut mempertimbangkan aspek
keluwesan, kemanan, dan kenyamanan dari pemakainya.
d.
Faktor tempat, ukuran dan bentuknya harus mempertimbangkan tempat
meletakkannya.
e.
Faktor rasa bahan, bahan yang digunakan harus juga mempertimbangkan keindahan
bentuk, fungsi dan tempat. Misalnya bahan dari rotan bentuk apa yang mau
dikerjakan, fungsinya untuk apa, penempatannya di mana, dsb.
f.
Faktor selera, karya seni kria yang dihasilkan harus memenuhi selera atau
permintaan pemakai.
2. Perjalanan Sejarah Seni Kria
Nusantara
Periode perkembangannya mengikuti
perkembangan seni rupa di wilayah Nusantara yang terdiri dari:
a. Periode zaman Prasejarah
Seni kria yang dihasilkan umumnya
untuk kepentingan upacara kepercayaan, perabot rumah tangga, perhiasan dan
peralatan berburu/perang. Teknik pengerjaannya sangat sederhana dan bentuk
hasil karyanya juga sangat sederhana;
b. Periode zaman Hindu-Budha
Seni kria yang dihasilkan umumnya
untuk kepentingan upacara kagamaan, perabot rumah tangga, perhiasan dan
peralatan berburu/perang. Teknik pengerjaannya sudah mengalami kemajuan dan
bentuk yang dihasilkan lebih banyak dan lebih indah. Karya-karya yang
dihasilkan seperti: bejana, keris, tombak, kendi, guci, perhiasan, wayang,
topeng, tenun, dll.
c. Periode zaman Islam
Pada zaman ini perubahan yang
terjadi pada motif hiasan yang diterapkan pada benda kria, hal ini disebabkan
karena adanya larangan menggunakan motif hewan dan manusia. Seni kria yang baru
muncul pada zaman ini adalah wayang kulit.
d. Periode Sekarang
Perkembangan seni kria di zaman
sekarang ini sangat pesat, baik dari segi bentuk, motif/ragam hiasan , bahan,
dsb. Hal ini disebabkan karena kemajuan teknologi dan seni kria di Indonesia
sekarang ini sebagai sumber devisa. Benda kria yang dihasilkan antara lain:
kria ukir kayu, anyaman bambu, kerajinan kuningan, perak, emas, kerajinan
kulit, kria keramik, kria tenun, kria batik, dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar